BERLARI’ SECEPAT MUHAMMAD ...
........ Menembus Batas Langit Perjalanan Isra Mi’raj ........
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Salam Sahabat Semua .., ini ada artikel
super bagus n keren, tapi panjaaang sekali, perlu keseriusan akal dan
pemahaman hati .. insya Allah mencerahkan kita semua ... yuuk kita baca
ulang kembali bagi yang sudah pernah membacanya ... Salam ... SC ...
Bismillahi minal Awwali
wal Akhiri ... Ilmuwan terkemuka Sinka mengatakan: siapa pun yang
melayangkan pendangannya ke arah langit pasti akan memejamkan kedua
matanya dengan penuh kekaguman dan katakjuban. Sebab ia melihat jutaan
bintang yang bersinar terang, mengamati pergerakannya di garis orbitnya,
dan beralih memandangi rasi-rasinya. Masing-masing bintang, planet,
nebul, dan satelit adalah dunia yang berdiri sendiri, dan jauh lebih
besar daripada bumi beserta segala yang ada diantaranya dan yang
melingkupinya (Ahmad, 2006:42).
Bayangkan, jika kita sedang
menengadah ke langit di malam hari, kita melihat sinar bulan yang begitu
indah. Nah, sinar bulan yang kita lihat itu membutuhkan waktu untuk
menempuh jarak dari bulan ke bumi sekira 350.000 kilometer. Karena
kecepatan cahaya sekitar 300.000 meter per detik, maka cahaya bulan itu
membutuhkan waktu lebih dari satu detik untuk sampai ke bumi. Artinya,
ketika kita melihat bulan, sebenarnya bulan yang kita lihat itu bukanlah
bulan pada saat yang sama. Sebab, bulan membutuhkan waktu selama satu
detik untuk mencapai bumi. Paling tidak, bulan yang kita lihat saat ini
adalah bulan satu detik yang lalu.
Hal itu juga terjadi ketika
kita melihat matahari. Karena jarak Matahari – Bumi yang demikian
jauhnya sekitar 150 juta kilometer, maka kecepatan cahaya membutuhkan
waktu 8 menit untuk sampai ke bumi. Artinya, jika waktu itu kita melihat
matahari, maka matahari yang kita lihat itu sebenarnya bukalah matahari
pada saat itu, melainkan matahari 8 menit yang lalu (Mustofa, 2006:71).
Kenaehan dan keterkaguman kita akan semakin bertambah, manakala kita
menyaksikan benda-benda langit yang lain, bintang umpamanya. Malah ada
bintang yang berjarak sangat jauh dari bumi hingga memakan waktu 8 tahun
cahaya dari bumi. Maka jika kita melihat bintang itu, sebenarnya kita
sedang menyaksikan bintang yang usianya 8 tahun lalu. Mengagumkan.
Bahkan, dalam abad kekinian, sering juga kita dengar istilah satelit
atau sputnik, yaitu kendaraan ruang angkasa yang diluncurkan menuju
bulan dan planetnya di dalam kelompok matahari. Persitiwa satelit atau
sputnik itu merupakan hasil kecerdasan otak manusia sekaligus merupakan
alat terpenting dalam mencapai kemajuan lahir ke arah pengetahuan dan
teknologi.
Lalu, pada abad ke-7 atau sekitar 1400 tahun silam,
kita juga mendengar suatu peristiwa maha hebat dari tanah Arab.
Persitiwa itu jauh lebih mengagumkan dari satelit ataupun sputik dan
benda-benda langit lainnya. Peristiwa itu dinamakan Isra Mi’raj Nabi
Muhammad saw. Muhammad tidak saja menembus ruang angkasa di sekitar
bulan, bahkan sudah meluncur ke ufuk yang tertinggi , melalui sistem
planet, menerobos ruang langit yang luas, berlanjut terus ke gugusan
Bintang Bima Sakti, meningkat kemudian mengarungi Semesta Alam hingga
sampai di ruang yang dibatasi oleh ruang yang tak terbatas. Kemudian
sampailah Rasulullah Muhammad saw pada Ruang yang Mutlak yang dinamakan
“Maha Ruang”. Inilah yang disebut “Dan dia Muhammad di ufuk yang
tertinggi” (Mudhary, 1996:21).
Peristiwa luar biasa ini kontan
membuat kontroversi di masyarakat. Ada masyarakat yang mencemooh;
kebanyakan dari mereka orang kafir. Mereka menggemboskan isu bahwa
Muhammad telah gila. Kelompok kedua adalah mereka yang ragu-ragu. Mereka
terbawa oleh suasana kontradiksi, mau percaya kok rasanya berita itu
tidak masuk akal. Tapi ngga percaya, kan Muhammad tidak pernah
berbohong. Kelompok ketiga adalah mereka yang begitu yakin akan
ke-Rasulan Muhammad. Perjalanan yang kontroversial ini pun bagi mereka
justru meningkatkan kayakinannya bahwa beliau benar-benar utusan Allah.
Lantas bagaimana dengan kita? Termasuk golongan yang mana: tidak yakin,
ragu-ragu, atau yakin? Alternatif dari jawaban itu adalah bahwa kita
harus yakin dengan di-Isra-kan dan di-Mi’raj-kannya Muhammad, sekaligus
meyakinkan kaum peragu bahwa peristiwa ini pun masuk akal, logis, dan
rasional. Sebab, bisa dibuktikan secara empiris dalam ilmu pengetahuan
modern
Bukankah manusia adalah salah satu magnum opus-nya Tuhan
dengan keistimewaan akalnya. Bukankah telah disinyalir Tuhan bahwa
manusia memiliki kemampuan untuk menjelajah seantero jagat raya dengan
kekuasannya (QS.Ar Rahman:33). Bahkan, Al Khazin, Al Baidlawi, dan An
Nasai (Mudhary, 1996:21), memberi tafsiran bahwa arah kata sulthan atau
kekuasanannya ialah ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh kecerdasan
otak lahir dan ilmu pengetahuan yang dihasilkan otak batin. Otak lahir
disebut juga indera badani atau jasmani, sedangkan otak batin disebut
indra rohani. Keduanya dikenal dengan sensus interior dan eksterior.
Hubungan antara tanda-tanda kebenaran di dalam al Quran dan alam raya
dipadukan melalui mukjizat Al Quran dengan mukjizat alam raya yang
menggambarkan kekuasaan Tuhan. Masing-masing mengakui dan membenarkan
keduanya menjadi pelajaran bagi setiap orang yang mau mendengar. Bahkan
Abbas Mahmud Aqqad (dikutip Pasya, 2004:24), memberi penjelasan makna
mukjizat ilmiah dalam al Quran dan Hadits secara lebih mendalam yakni
terdapat dua macam mukjizat yang harus dibedakan: mukjizat yang harus
dicari, dan mukjizat yang memang tidak perlu dicarai.
Sayangnya
pembedaan antara kedua macam mukjizat tersebut hampir tidak kita
temukan pada mereka yang pemikirannya hanya berhenti pada batas
penafsiran ilmiah terhadap fenomena alam. Tidak adanya pembedaan
tersebut kadang menyebabkan pencampuradukkan anatra mukjizat ilmiah
(yang berarti bahwa Al Quran dan Hadits telah terlebih dahulu
memberitahukan kita tentang fakta atau fenomena alam sebelum ditemukan
oleh ilmu empiris) dan penafsiran Al Quran secara ilmiah (yang berarti
mengungkap makna-makan baru ayat Quran atau Hadits sesuai kebenaran
teori sains). Dengan kata lain, sains menjadi perangkat untuk
menafsirkan Al Quran dan Hadits, seperti halnya ilmu bahasa dan asal
usul fikih yang juga menjadi perangkat untuk menafsirkan ayat-ayat Al
Quran di bidang ilmu keagamaan. Nah.
Dengan demikian,
perjalanan Isra Mi’raj yang menjadi fenomena mukjizat Allah tersebut
mampu dikaji secara ilmiah. Pembuktian-pembuktian sains modern telah
menampakan sebuah paradigma bahwa perjalanan Muhammad menjumpai Tuhannya
dengan menembus batas-batas langit adalah benar. Sebab, perjalanan itu
bisa ditafsir ulang dengan sains kekinian, dan dibuktikan secara ilmiah.
Skenario Isra Mi’raj dan Tafsir Fisik ...
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam
dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah diberkahi sekelilingnya
oleh Allah agar Kami perhatikan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kekuasaan) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat” (QS Al Isra:1).
Dalam ayat in, Allah sudah menjelaskan
skenario perjalanan Isra Mi’raj Nabi Muhammad. Sehingga dengan
berpatokan pada ayat ini, kita bisa memperoleh pemahaman yang sangat
memadai tentang mukjizat Isra dan Mi’raj tersebut.
Dalam
tinjauan Agus Mustofa (2006:11), setidak-tidaknya ada delapan kata kunci
yang menjadi catatan penting dan menuntut pemahaman kita menembus
batas-batas langit untuk menafsir perjalanan kontroversial ini. Baiklah,
jika kita mencoba untuk menguraikan makna kata-kata tersebut, maka akan
menjadi seperti ini:
Catatan pertama, terdapat pada akata
Subhanallah, Maha Suci Allah. Hal ini mengisyaratkan bahwa persitiwa ini
sangat luar biasa. Saking spesialnya kejadian ini, Allah sendiri memuji
diri-Nya dengan ucapan Subhanallah. Barangkali inilah salah satu bukti
bahwa Allah adalah Maha dari segala Maha. Maha tanpa batasan ruang,
waktu, bahkan massa. Sehingga lanjut Quraish Shihab (1992:338),
peristiwa ini membuktikan bahwa ‘ilm dan qudrat Tuhan meliputi dan
menjangkau, bahkan mengatasi segala yang finite (terbatas) dan infinite
(tak terbatas) tanpa terbatas ruang dan waktu.
Catatan kedua,
adalah dalam kata asraa, yang telah memperjalankan. Ini berarti bahwa
perjalanan Isra Mi’raj bukan atas kehendak Rasulullah, melainkan
kehendak Allah. Dengan kata lain, kita juga memperoleh ‘bocoran’ bahwa
Rasul tidak akan sanggup melakukan perjalanan itu atas kehendaknya
sendiri. Saking dahsyatnya perjalanan ini, jangankan manusia biasa,
Rasul sekali pun tidak akan bisa tanpa diperjalankan oleh Allah.
Oleh karena itu lanjut Agus (2006:15), Allah lantas mengutus malaikat
Jibril untuk membawa Nabi melanglang ‘ruang’ dan ‘waktu’ didalam alam
semesta ciptaan Allah. Mengapa Jibril? Sebab Jibril merupakan makhluk
dari langit ke tujuh yang berbadan cahaya. Dengan badan cahayanya itu,
Jibril bisa membawa Rasulullah melintasi dimensi-dimensi yang tak kasat
mata.
Pembuktian menurut ilmu Fisika lanjut Mudhary (1996;28),
bahwa eter menjadi zat pembawa sekaligus pelantara daya elektromagnetik.
Eter adalah udara yang ringan sekali, lebih ringan dari udara yang
dihirup oleh manusia: O2. Dalam bahasa Arab disebut dengan “Itsir”. Jika
eter bergetar, niscaya membutuhkan pula zat pembawa yang lebih halus
lagi dari eter itu sendiri, agar getaran eter itu bisa tersebar ke
mana-mana.
Sedangkan menurut Ilmu Metafisika, Rasul naik ke
ruang angkasa melakukan perjalanan Mi’rajnya tentu membutuhkan zat
pembawa yang lebih halus dari jiwa atau rohaninya. Oleh karena itu,
makhluk hidup yang memiliki dua jasad: jasmani dan rohani, maka
diperlukan zat pembawa yang lebih halus dari rohani itu sendiri dan
mampu mengangkat jasmani Rasul sekaligus. Dan ternyata makhluk yang
sangat halus itu bernama Jibril.
Selain Jibril, perjalanan
super istimewa itu disertai juga oleh kendaraan spesial yang didesain
Allah dengan sangat spesial bernama Buraq. Ia adalah makhluk berbadan
cahaya yang berasal dari alam malakut yang dijadikan tunggangan selama
perjalanan tersebut. Buraq berasal dari kata Barqum yang berarti kilat.
Maka, ketika menunggang Buraq itu mereka bertiga melesat dengan melebihi
kecepatan cahaya sekitar 300.000 kilometer per detik (Mustofa,
2006:15).
Jika seandainya kecepatan Buraq diambil
serendah-rendahnya setara dengan perbandingan kecepatan elektris saja:
300.000 kilometer per detik, maka jarak anatara Masjidil Haram di Mekkah
dengan Masjidil Aqsha di Palestina yang berjarak 1.500 kilometer,
paling tidak memakan waktu 1/200 detik. Padahal, Buraq adalah makhluk
hidup yang kecepatannya pun bisa melebihi kecepatan elektris tadi.
Pertanyaannya kemudian, bukankah kecepatan cahaya adalah kecepatan
paling tinggi yang telah dihasilkan Fisika Modern? Bukankah kecepatan
cahaya telah mendapat legalitas berdasarkan keputusan kongres
Internasional tentang Standar Ukuran yang digelar di Paris tahun 1983:
bahwa kecepatan cahaya berada dalam vakum sebesar 299.792.458 meter per
detik dibulatkan sekira 300.000 kilometer per detik. Dan tentu saja,
kecepatan cahaya berlaku sama bagi seluruh gelombang spektrum dan
mempersentasikan batas kecepatan dalam alam fisika (Ahmad, 2006:168).
Tentu saja kecepatan setinggi itu tidak bisa dilakukan oleh sembarang
benda. Hanya sesuatu yang sangat ringan saja yang bisa memiliki
kecepatan yang bisa melebihi kecepatan cahaya. Bahkan, saking ringannya,
maka sesuatu itu harus tidak memiliki massa sama sekali. Yang bisa
melakukan kecepatan itu hanya photon saja, yaitu kuantum-kuantum
penyusun cahaya. Bahkan, electron sekali pun yang bobotnya hamper nol
sekalipun tidak bisa memiliki kecepatan setinggi itu.
Sedangkan
manusia sendiri terkonstruksi dari satuan-satuan utama yang sangat
kecil dinamakan sel. Jumlahnya sekitar 390 milyar. Sel tubuh ini tidak
sama, baik bentuk, besar, maupun fungsinya. Sel-sel ini tidak terpisah
satu sama lain, tetapi hidup dalam organisasi yang harmonis (Pasya,
2004:250).
Jika dilihat dari penyusunnya, maka berbagai macam
sel itu tersusun dari molekul-molekul. Baik yang sederhana maupun
molekul yang kompleks. Mulai dari H2O, sampai pada molekul asam amino
atau proteir kompleks lainnya. Dan jika dicermati, maka molekul itu juga
tersusun dari bagian-bagian yang lebih kecil disebut atom. Dan atom ini
pun tersusun dari partikel-partikel sub atomik seperti: proton,
neutron, elektron, dan sebagainya.
Karena manusia memiliki
bobot, jangankan untuk dipercepat dengan kecepatan setingkat kecepatan
cahaya. Dengan percepatan beberapa kali gravitasi bumi (G) saja, sudah
akan mengalami kendala serius, bahkan bisa meninggal dunia.
Dalam ilustrasinya, Agus Mustofa (2006:17) memberi gambaran tentang
seorang pilot yang melakukan manuver di angkasa. Ketika ia melakukan
gerakan vertikal naik ke langit atau manuver ‘jatuh’ ke bumi misalnya,
saat itu badannya akan mengalami tekanan alias beban yang sangat berat
bergantung pada besarnya percepatan yang ia lakukan.
Jika pilot
bermanuver ke langit dengan percepatan dua kali gravitasi bumi (2G),
maka badannya akan mengalami tekanan dua kali lipat dari biasanya. Jika
bobot pilot dalam kondisi normal 80 kg misalnya, maka pada saat
melakukan manuver bobotnya akan menjadi 160 kg. Bahkan jika
percepatannya lebih tinggi lagi, rasa ‘nyuut’ di otak akan semakin
besar. Seperti orang yang jatuh bebas ke dalam sebuah sumur yang dalam.
Bisa-bisa seseorang akan mengalami ‘hilang kesadaran’. Apalagi manuver
pilot dengan kecepatan 5G, pilot yang tidak terlatih bisa-bisa mengalami
balck out alias semaput atau pingsan di angkasa.
Jika
demikian, bukankah Muhammad juga seorang manusia biasa yang memiliki
struktur sama dengan pilot dalam ilustrasi tadi ketika ia melakukan
perjalanan Isra Mi’raj tersebut? Lalu bagaimana jasmani Muhammad mampu
menembus lapisan langit dengan bantuan kecepatan cahaya ? Apakah
Muhammad di-Isra-kan dan di-Mi’raj-kan dengan jasmani dan rohaninya
sekaligus? Nah.
Salah satu ‘skenario rekonstruksi’ untuk
mengatasi problem ini adalah teori Annihilasi. Teori ini mengatakan
bahwa setiap materi (zat) memiliki anti materi. Dan jika materi
dipertemukan atau direaksikan dengan anti materinya, maka kedua partikel
tersebut bakal lenyap berubah menjadi seberkas cahaya atau sinar gama
(Mustofa, 2006:20).
Hal ini telah dibuktikan di laboratorium
nuklir masih dalam buku yang sama (2006:20), bahwa jika ada partikel
proton dipertemukan dengan antiproton, atau elektron dengan positron
sebagai antielektronnya, maka kedua pasangan partikel tersebut akan
lenyap dan memunculkan dua buah sinar gama, dengan energi masing-masing
0,11 MeV untuk pasangan elektron dan 938 MeVuntuk pasangan partikel
proton.
Sebaliknya, jika ada seberkas sinar Gama yang memiliki
energi sebesar itu dilewatkan medan inti atom, maka tiba-tiba sinar
tersebut lenyap berubah menjadi dua buah pasangan partikel seperti di
atas. Hal ini menunjukan bahwa materi memang bisa berubah menjadi cahaya
dengan cara tertentu, yang disebut sebagai reaksi Annihilasi.
Nah, proses pengubahan materi menjadi cahaya terjadi sesaat sebelum
perjalanan Isra Mi’raj dimulai. Kejadian ini ketika Rasul disucikan oleh
Jibril di dekat sumur zam-zam. Bisa dikatakan jika proses ini adalah
proses operasi hati Muhammad dengan air zam-zam.
Kenapa operasi
hati? Bukan otak atau jantung misalnya? Ya, sebab hati adalah pangkal
dari seluruh aktifitas badani. Bahkan Rasul mengatakan bahwa hati adalah
pangkal dari segala aktifitas badani. Jika baik hatinya, maka baik pula
seluruh aktifitas badannya. Begitu juga sebaliknya jika buruk hatinya,
maka buruk juga segala aktifitas badaniahnya.
Bahkan, resonansi
dari hati yang baik itulah kelembutan akan muncul. Bagaikan buluh
perindu yang akan menghasilkan suara merdu ketika ditiup. Kenapa? Karena
hati yang lembut bagaikan sebuah tabung resonansi yang bagus.
Getarannya menghasilkan frekuensi yang semakin lama semakin tinggi.
Semakin lembut hati seseorang, semakin tinggi frekuensinya. Pada
frekuensi 10 pangkat 8, maka akan menghasilkan gelombang radio. Dan jika
frekuensinya lebih tinggi misal 10 pangkat 14, maka akan menghasilkan
gelombang cahaya (Mustofa, 2008:153).
Itulah agaknya yang
terjadi pada diri Rasulullah saat ‘dioperasi’ oleh malaikat Jibril di
dekat sumur zam-zam. Jibril melakukan manipulasi terhadap sistem energi
menjadi badan cahaya. Dengan kesiapan ini, Muhammad siap untukdibawa
melalui kawalan Jibril dengan mengendarai Buraq menembus batas langit
hingga akhirnya berjumpa dengan Sang Pemilik Cahaya Abadi.
Catatan ketiga, terdapat dalam kata ‘abdihi, Hamba-Nya. Hal ini berarti
bahwa tidak semua orang secara sembarangan mampu melakukan perjalanan
Isra Mi’raj. Perjalanan fantastis yang hanya bisa dilakukan oleh manusia
yang sudah mencapai tingkatan ‘abdihi, hamba-Nya. Atau dalam istilah
Quraish Shihab sebagai insan kamil.
Catatan keempat, dalam kata
laila, malam hari. Perjalanan spesial ini dilakukan pada malam hari dan
bukan siang hari. Kenapa? Inilah dia bukti kebesaran Tuhan Sang Maha
Gagah itu. Ia mengendalikan perjalanana Isra Mi’raj dengan apik dan
sangat canggih. Apalagi alasan logis mengenai hal itu, bahwa pada siang
hari radiasi sinar matahari demikian kuatnya, sehingga bisa membahayakan
badan Nabi Muhammad yang sebenarnya memang bukan badan cahaya. Badan
nabi yang sesungguhnya tentu saja adalah materi. Perubahan menjadi badan
cahaya itu bersifat sementara saja, sesuai kebutuhan untuk melakukan
perjalanan bersama Jibril. Dengan melakukannya pada malam hari, maka
Allah telah menghindarkan Nabi dari interferensi gelombang yang bakal
membahayakan badannya. Suasana malam memberikan kondisi yang baik buat
perjalanan itu (Mustofa, 2006:25).
Sebagai gambaran sederhana,
ketika di malam hari kita menyalakan radio, maka gelombang yang kita
tangkap akan jernih dan lebih mudah dari siang hari. Sebab gelombang
radio tersebut tidak mengalami gangguan terlalu besar yang saling
bersinggungan dengan gelombang lainnya. Begitulah gambaran sederhananya,
sebab waktu malam hari adalah waktu yang paling kondusif untuk
perjalanan super spesial demi kelancaran perjalanan ini.
Catatan kelima, terdapat dalam kata minal Masjidil haram ilal masjidil
Aqsha, dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Perjalanan ini dimulai
dari mesjid ke mesjid, sebab mesjid adalah bangunan yang memiliki energi
positif. Disanalah orang-orang berusaha untuk menyucikan diri,
mendekat, bahkan merapat kepada Tuhannya. Masing-masing mesjid tersebut
ibarat tabung energi positif bagi perjalanan Nabi.
Masjidil
Haram dan Masjidil Aqsha dijadikan sebagai terminal pemberangkatan dan
kedatangan. Hal ini mirip dengan tabung transmitter dan recieveri, yang
dipergunakan dalam proses perubahan badan Nabi Muhammad dari materi
menjadi cahaya jauh lebih mudah. Apalagi proses itu melalui ‘operasi’
lewat pelantara Jibril yang memang makhluk cahaya. Maka semuanya
berjalan dengan lancar sesuai kehendak Allah. Dia-lah yang berkehendak,
sedang Jibril yang melaksanakannya (Mustofa, 2006:28).
Catatan
keenam, yakni dalam kata baaraknaa haulahu, Kami berkahi sekelilingnya.
Perjalanan ini adalah perjalanan yang tak lazim. Oleh karena itu Allah
mempersiapkan semua fasilitas dengan keberkahan untuk menjaga kelancaran
perjalanan sekali dalam sepanjang sejarah manusia.
Nah,
disinilah pentingnya Allah menjaga lingkungan sekitar perjalanan Isra
Mi’raj agar tidak terjadi hal-hal yang merusak. Sebab, jika badan Rasul
tiba-tiba berubah menjadi ‘badan materi’ lagi saat melakukan perjalanan
berkecepatan tinggi itu, maka badannya bisa terurai menjadi
partikel-partikel kecil sub atomik, tidak beraturan lagi. Untuk itulah,
keberkahan itu selalu ada; di setiap tempat di setiap keadaan, bahkan
tak mengenal tempat, waktu, dan keadaan sekalipun.
Catatan
ketujuh, terdapat dalam kata linuriyahu min ayaayaatina, tanda-tanda
kebesaran Allah. Ya, tepat sekali Isra Mi’raj adalah salah satu tanda
kebesaran Allah yang Maha Hebat. Dalam perjalanan itu Rasul menyaksikan
pemandangan yang tidak pernah beliau saksikan sebelumnya. Terutama
ketika melintasi dimensi-dimensi langit yang lebih tinggi pada saat
Mi’raj ke langit ke tujuh. Tanda kebesaran dan keagungan Allah ini
terhampar di jagat raya. Dan dengan tanda-tanda itu, seseorang mukmin
bisa melakukan ‘dzikir sekaligus pikir’ sehingga menghasilkan kedekatan
diri kepada Allah Azza wa Jalla.
Dan kata kunci yang terakhir
adalah innahu huwas samii’ul bashir, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui
lagi Maha Melihat. Ini adalah proses penegasan informasi kalimat
sebelumnya. Dengan adanya kalimat ini, seakan-akan Alalh ingin
memberikan jaminan kepada kita bahwa apa yang telah Dia ceritakan dalam
ayat ini adalah benar adanya. Kenapa? Karena berita ini datang dari
Allah, Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Maka tak perlu ada
keraguan tentang kisah fenomenal ini (Mustofa, 2006:41).
Begitu
dahsyat peristiwa Isra Mi’raj hingga meninggalkan kesan mendalam untuk
seluruh umat manusia hingga kini. Namun, dari tafsiran yang telah
dipaparkan di atas, sekira dengan obat sebagai penawar penyakit, begitu
pun hikmah perjalanan ini sebagai ikhtiar pembangun jiwa-jiwa yang
sedang kebingungan, atau malah ‘mati’ dalam kebingungan.
Siapa
pun ia jika mengira akal adalah Tuhan yang patut disembah, sains adalah
Maha Guru tertinggi yang patut dipuji, maka ia bagai berada dalam
dimensi yang terus memenjaranya untuk tidak menemukan kebenaran hakiki.
Sebab, Kant pernah berkata (dalam avant propos Capra, 2000:xxii), bahwa
ia secara meyakinkan dan sudah membuktikan jika nalar teoritis sama
sekali tak mampu menangkap kebenaran metafisika. Dengan kata lain, sains
tak bisa membuktikan Tuhan ada, juga tidak bisa membuktikan Tuhan tidak
ada. Dengan ini, Kant sebenarnya hendak membatasi ekspansi sains,
menyisakan ruang bagi iman.
Banyak tafsiran yang diutarakan
para ulama terkait berita kontroversial ini. Namun, perlu menjadi
catatan bahwa terlepas dari semua tafsiran: aqidah, sains, bahkan
tasawuf sekalipun, ia ‘menggenjot’ penyemangat jiwa. Sebab Muhammad
mampu ‘berlari’ menjadi hamba yang Insan Kamil untuk melesat menuju
Tuhannya. Ia membuka diri untuk disesuaikan dan direkonstruksi demi
menyempurnakan panggilan spesial Tuhannya.
Bukan saja Muhammad
yang bisa ‘berlari menuju Tuhannya. Anda, saudara, dan kita semua bisa
‘berlari’ mengejar hakikat kecintaan kepada Tuhan. Hidup terlalu singkat
untuk diisi dengan pergi menuju tuhan dengan cara berjalan lanjut Kang
Jalal (2008:69). Kita harus ‘berlari’ sebelum waktu kita di dunia habis
dan berakhir. ‘Berlari’ dari segala yang menarik perhatian kita, menuju
kepada yang satu, Allah. Sebab, “Barangsiapa yang mendekati Allah
sesiku, Dia akan mendekatinya sehasta. Barangsiapa mendekati Allah
sambil berjalan, Dia akan menyambutnya sambil berlari” (HR. Ahmad dan
Thabrani). Jika begitu, bagaimana jika kita menuju-Nya dengan ‘berlari’,
seberapa dekatkah Ia kepada hamba-Nya.
Kenyataan ini menuntun
kita pada adanya evolusi dari hal yang sifatnya material menuju hal yang
immaterial. Membimbing kita untuk Mi’raj atau pendakian menuju tahap
demi tahap hingga sampai ke hakikat kecintaan kepada-Nya. Keberadaan
hierarki dan proses pendakiannya yang merupakan ajaran tarekat yang
dicontohkan Plotinus sebagai tokoh madzhab neoplatonisme (Purwanto,
2008:383). Menurutnya semua berasal dari Yang Satu atau to Hen dan
semuanya berhasrat untuk kembali kepada Yang Satu. Manusia dapat
melaksanakan pengembalian kepada Yang Satu dengan upaya menempuh tahap
demi tahap, hingga akhirnya mampu ‘berlari’ menembus penyatuan dengan
Yang Satu, atau dalam istilah Plotinus disebut ekstasis.
Overall, maka bersegeralah ‘berlari’ untuk Mi’raj menuju Tuhan. Sebab Ia
telah berfirman: “Oleh karena itu, bersegeralah berlari kembali menuju
Allah” (QS.Al dzariyat:50). Mi’raj untuk menembus batas-batas kekotoran
sifat manusia, menjemput Cahaya Ke-Tuhanan yang hanya diberikan bagi
mereka yang spesial. Mereka yang berhasil menjadi pengikut Muhammad yang
tidah hanya mengagumi dalam decak kagum tanpa penghayatan, tetapi
penghayatan dalam pengamalan yang ikhlas.
Perjalanan yang
ditempuh dari pecinta menuju yang dicintainya, hingga keadaan ini berada
dalam vakum penyatuan. Cerminan penyatuan itu tertuang dalam sebuah
hadits qudsi: “Tidak henti-hentinya hamba-hamba-Ku mendekatkan diri
kepada–Ku dengan melakukan ibadah-ibadah nawafil, hingga Aku
mencintainya. Kalau Aku telah mencintainya, Aku akan menjadi telinganya
yang dengannya ia mendengar; Aku akan menjadi matanya yang dengannya ia
melihat; Aku akan menjadi tangannya yang dengannya ia memegang; Aku akan
menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia bermohon kepada-Ku,
Aku akan mengabulkan permohonannya. Jika ia berlindung kepada-Ku, Aku
akan melindungi dirinya” (HR. Bukhari).
Daftar Pustaka :
1.> Al Quran dan terjemahnya.
2.> Agus Mustofa, 2006, Terpesona di Sidratul Muntaha, Surabaya, Padma, 2008, Pusaran Energi Kabah, Surabaya, Padma.
3.> Agus Purwanto, 2008, Ayat-ayat Semesta, Bandung, Mizan Media Utama.
4.> Ahmad Fuad Pasya, 2004, Dimensi Sains Al Quran, Solo, Tiga Serangkai.
5.> Bahaudin Mudhary, 1996, Setetes Rahasia Alam Tuhan, Surabaya, Pustaka Metafisika.
6.> Fritjrof Capra, 2000, The Tao of Physics, Yogyakarta, Jalasutra.
7.> Jalaluddin Rakhmat, 2008, The Road to Allah, Bandung, Mizan Media Utama.
8.> M. Quraish Shihab, 1993, Membumikan Al Quran, Bandung, Mizan.
9.> Syekh Yusuf al-Hajj Ahmad, 2006, Al Quran Kitab Sains dan Media, Jakarta, Grafindo.
~ o ~
Semoga bermanfaat dan Dapat Diambil Hikmah-Nya ...
Bagikan tausiyah ini kepada teman-temanmu dengan meng-klik
'bagikan'/'share' dan undang temen2mu gabung dg klik ‘Invite Your
Friends’
Viagra In Nero online pharmacy Macrobid Mail Order Doxycycline Online Pharmacy Uk Amitiptyline Without Prescription In Uk
Misoprostol Prix Propecia Ejercicios buy generic cialis online Viagra Ou Cialis Ordonnance Amazon Metformin Levitra Modo Di Assunzione